Sabtu, 26 Juni 2021

CERPEN: Gadis Porselen Dibalik Jeruji Besi

 Gadis Porselen Dibalik Jeruji Besi

Tersenyum… Gadis yang menarik sudut bibirnya itu tersenyum. Menikmati kenyamanan, duduk manis di atas kursi putih megahnya, dilengkapi segelas wine di tangan. Irama melodi dari piringan hitam, memecah keheningan—menambah suasana damai nan tentram. Atmosfer yang begitu sempurna.

Sampai… Gadis dengan surai hitam bergelombang itu, mulai melirik jam pasirnya—tampak sirna pada satu sisi. Retina coklat dengan partikel karamel itu terdiam, helaan nafas halus kini mulai terdengar. Gumam malas pun lolos dengan mudahnya “Sudah waktunya”. Dengan senyuman, gadis itu bersenandung kecil. Membiarkan gaun burgundy panjangnya menjuntai, berjalan dengan tenang di tengah keheningan. Di depan sebuah kolam besar, ia menghentikan langkahnya. Membalik tubuh, sebelum kembali memejamkan kelopak mata—menghempaskan tubuhnya—jatuh ke dalam kolam.             

Sampai….. Ia kembali membuka kelopak matanya. Memperlihatkan retina sayu, yang tampak lelah. Gadis itu menoleh—melihat wanita yang serupa dengannya, berdiri dibalik jeruji, menatap ke arahnya—membawa sebuah nampan di tangan. Jika diperhatikan, kerutan pada wajah itu semakin bertambah.

Gadis itu akhirnya bangkit—berjalan ke arah wanita dibalik jeruji besi, dilengkapi senyuman manisnya. Ia menerima nampan dari sela horizontal yang tersedia. Gaun tidur putih panjangnya tampak kusut, surai panjangnya terlihat tidak terurus. Wanita di balik jeruji besi itu, memberikan sebuah buku sketsa gambar, boneka porselen, kepada si gadis bergaun tidur. Dengan senang, lengannya menerima buku tersebut sambil kembali tersenyum.

“Terima kasih, mamah” ujarnya sebelum wanita itu berbalik pergi meninggalkannya.

Sesat… Ia kembali lupa, bahwa dirinyalah gadis dibalik jeruji besi.

Gadis itu berbalik, berjalan menuju kursi dan meja kacanya—mulai membuka buku—memperhatikan sketsa gambar sambil memakan potongan pisang dalam mangkuk. Dengan senandung, ia membaca tulisan dalam gambar pada buku yang diberikan ibunya. “Namanya seperti namamu, Cassandra”. Gadis itu menatap dinding cermin, mendongak menatap langit-langit cermin dan membungkuk menatap lantai cermin. Ia tampak kembali tersenyum “Karena ini, memanglah kisahmu”.  Gadis itu menutup buku di tangannya, menopang dagu menatap dinding yang memantulkan perwujudannya.

Lagi—ia kembali tersenyum. “Di sebuah pulau terpencil, terdapat sebuah kastil megah milik seorang bangsawan kaya raya. Ia membawa serta istrinya yang seorang pembuat boneka porselen dan putrinya yang jahat untuk tinggal bersamanya—mengisi kekosongan dalam kastil hitam besar—membawa kehangatan”.  Cassandra—gadis dengan kulit seputih porselen itu meraih sisir—mulai menyisir rambutnya. Masih melanjutkan dongeng yang diceritakannya. “Namun, Kastil itu tidak ditinggali untuk mengisi kekosongan—untuk memberikan kehangatan. Kastil itu, ditempati untuk memperbaiki yang rusak—seperti boneka porselen yang pecah. Sang putri jahat harus diperbaiki”. Cassandra kembali tersenyum—menarik sudut bibirnya untuk tersenyum, adalah hal yang mudah.

Cassandra menaruh sisir di mejanya, dan mulai memilih tusuk konde cantik mana yang akan dirinya kenakan. Tusuk rambut dengan ukiran kepala bunga Asphodel berdaun kelabu, berkelopak kuning pucat, menjadi pilihan. Cassandra menggulung setengah surainya—menata dengan cantik, berhiaskan tusuk konde kesukaannya. “Sama seperti bunga Asphodel, yang bermakna kematian—pembawa pesan penyesalan dalam kubur. Nama sang putri jahat, juga memiliki makna yang cantik. Cassandra Queen Lilith, Ratu malam yang memiliki kisah tragis. Dalam perang Troya, Cassandra adalah nama seorang putri yang mampu melihat masa depan. Namun ia dikutuk, hingga tidak ada seorang pun yang percaya pada penglihatannya. Akhirnya, ia diberikan kepada salah satu orang Yunani, untuk menjadi selir dan akhir dari kisahnya adalah kematian—terbunuh oleh istri sah dari suaminya. Bukankah itu adalah kisah hidup, yang sangat indah?”.

Cassandra kembali tersenyum—melirik jeruji yang membatasi kamar cerminnya dengan kamar lain. Retina sayu Cassandra semakin terasa berat. “Setidaknya, saat Cassandra itu dianggap rusak, ia masih memiliki kebebasannya. Apa Cassandra ini terlalu rusak? Layaknya boneka porselen yang tidak akan bisa diperbaiki seperti sedia kala?”. Cassandra memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Mengingat saat ibu dan ayahnya selalu memuji kecantikan Cassandra—seperti boneka porselen—Cassandra memiliki rupa mendekati sempurna, begitu rupawan dan indah. 

‘Saat sudah rusak, tidak lagi terlihat indah bukan? Padahal aku hanya meniru kalian’. Cassandra menggeleng kecil, turun dari kursinya dan berbaring di atas lantai cermin—terasa begitu dingin menusuk kulit. Suasana dan perasaan yang sangat familiar dengan dirinya. 

‘Tidak ada kehangatan’ Cassandra menyilang kedua tangannya di dada—mulai memejamkan matanya—menggapai kebebasan. Rasa nyaman mulai terasa, Cassandra sadar dalam lelapnya. Gadis itu merasakan tubuhnya yang mulai terasa lumpuh, seolah tengah ditarik, seolah merasakan sensasi jatuh tersedot dalam spiral, yang semakin lama semakin sempit dan meruncing. Saat Cassandra membuka matanya—ia kembali pada saat itu. Saat dimana dirinya pertama kali memasuki ruang cermin—menjadi Gadis porselen dibalik jeruji besi. Cassandra menarik sudut bibirnya, melihat dirinya kecil yang menatapnya tanpa emosi—terlalu tenang—seperti monster berdarah dingin.

Cassandra melangkah maju, membuat gaunnya berubah menjadi gaun hitam dengan ekor menjuntai. Surai panjangnya tersimpul rapi, dengan tusuk konde berkepala angsa emas—bermata kristal. Cassandra menghampiri Cassandra kecil—gadis porselen dibalik jeruji besi. “Mereka bilang kau harus cantik, mereka bilang kau harus kurus, mereka bilang kau harus penurut, mereka bilang kau harus diam. Dengan begitu kau tidak lagi rusak. Tersenyumlah, tersenyum arti dari kebahagiaan. Tersenyum tidaklah sulit—kau hanya perlu menarik kedua sudut bibirmu—setelahnya kau akan terlihat bahagia. Mungkin suatu hari nanti kau akan benar-benar bahagia”. Cassandra kecil mendengarkan—tampak menganalisa ucapan dirinya yang lebih dewasa, menyidik menatap Cassandra dewasa.

“Apa salahnya tidak cantik? Apa salahnya bertubuh gempal? Mengapa aku harus menuruti semuanya? Mengapa aku harus diam saat aku ingin bicara? Semuanya selalu mengenai apa yang Mereka Bilang. Bukan mengenai apa yang Kubilang. Seperti Light Yagami, aku harus tersenyum di hadapan musuhku?” pertanyaan Cassandra kecil membuat Cassandra kembali tersenyum—menunjukan cara mudah tersenyum.

“Karena jika kau berontak—kau akan terlihat semakin rusak. Kau—akan menghabiskan 14 tahun di dalam sana. Sendirian—kedinginan. Light Yagami, tersenyum di hadapan musuh, yang mampu dirinya hukum dengan buku ajaib, kau juga memiliki benda ajaib” Cassandra kecil mundur beberapa langkah—menatap Cassandra. “Bahkan, walaupun bukan sepenuhnya salahku?” pertanyaan Cassandra kecil membuat Cassandra mengangguk. Gadis kecil yang terlihat semakin kurus itu ikut mengangguk dan tersenyum manis.

 “Tersenyum tidaklah sulit” ujar Cassandra kecil dengan senyuman manisnya. Cassandra merasa urusnnya telah selesai, ia membalik tubuhnya, membuat penglihatannya mulai berubah. Situasi yang Cassandra lihat mulai kembali terbentuk ulang.

Ditatapnya saat dimana ibunya menendang dua anak anjing hingga mereka kesakitan, tampak sekarat. Setelahnya, ia pergi begitu saja. Cassandra memperhatikan—menatap dirinya kecil yang berjalan ke arah kedua anjing itu—menarik tusuk konde dari rambutnya dan menusukkan nya pada kedua leher anak anjing itu. Kedua orang tuanya hanya memperhatikan dari kejauhan terkejut pada apa yang Cassandra lakukan. Anak berusia 9 tahun melakukan hal yang diluar logika. “Penderitaanmu sudah berakhir, bahagialah” gumam Casandra kecil sambil menarik tusuk konde angsanya—kembali menancapkan pada simpul rambutnya. Dari kejauhan Cassandra kecil menatap ibunya. “Mengapa menyakiti mereka?” bukan mendapatkan jawaban—Casandra kecil mendapati ibunya berbalik tanpa kembali menoleh ke arahnya—begitu pula ayahnya.

Cassandra dewasa yang memperhatikan hal tersebut hanya tersenyum manis—melirik jam pasir melayangnya, yang sudah hampir sirna pada satu sisinya. Sambil berbalik—Cassandra bergumam dalam setiap langkahnya. “Monster tanpa emosi, kau dibuang”. Kini, Cassandra sudah berada di tepi jurang—gadis itu menoleh sekali lagi—memperhatikan dirinya kecil yang sudah menaruh tusuk konde berlapis darah pada leher. “Harusnya saat itu kau melakukannya—bukan berharap ampunan orang tuamu. Berharap pada kemustahilan” Cassandra dewasa kembali berbalik—menghempaskan tubuhnya ke dasar jurang—berpisah dengan kebebasan—kembali pada kenyataan.

Cassandra yang tertidur di lantai terbangun. Mendengar suara isak tangis yang tidak asing di telinganya. Retinanya kini menatap ayah dan ibunya di balik jeruji besi. Dengan mata berair, ibu Cassandra hanya menatap Cassandra sambil terduduk. Sedangkan ayahnya, kini membuka pintu jeruji, yang sudah sekian lama tidak pernah terbuka. Cassandra bangkit dan berjalan menuju ibu dan ayahnya—merasakan sebuah harapan.

“Bukan berbalik, kami harusnya merangkulmu. Bukan mencoba memperbaiki, kami harusnya membimbingmu. Semua ini salah bukan? Semua ini tidak termaafkan bukan?” Cassandra sempat terdiam beberapa saat, sebelum kembali melangkah mendekat. Dengan senyumannya ia hanya berkata “Tidak ada dosa yang tidak bisa termaafkan” Cassandra akhirnya merasakan hal itu. Pelukan dari kedua orang tua nya, gadis itu tersenyum dengan mata berlinang. Senyuman adalah arti dari kebahagiaan—namun saat ini, Cassandra merasa penuh amarah. Cassandra menarik tusuk konde angsa emasnya—menusuk leher ibu dan ayahnya secara bergantian, hingga keduanya bersimbah darah—gaun tidur putih Cassandra juga telah berubah warna—corak yang sangat indah—warna kesukaannya.

“Apa yang sebenarnya diinginkan putri dari kastil hitam? Pengakuan? Atau Pendengar?. Apa yang sebenarnya diinginkan monster berdarah dingin? Kebebasan? Atau kebahagiaan?” Cassandra menatap  kedua orang tuanya yang sekarat, dengan senyuman dan mata berair. Senyuman arti dari kebahagiaan—seperti yang ibunya ajarkan.

“Apa yang sebenarnya dirasakan Gadis Porselen dibalik jeruji besi?  Ia benar-benar tidak dapat merasakan emosi? Atau, Tidak memiliki kesempatan untuk belajar emosi? Dibandingkan kalimat bahwa aku cantik. Aku lebih membutuhkan kalimat bahwa kalian mencintaiku. Dibandingkan hampa dan dingin yang diberikan, aku lebih membutuhkan pelukan hangat dari kalian, namun pelukan itu tidak terasa hangat”.

Cassandra tampak mengatur nafas—kembali memasang tusuk konde angsa emasnya. Angsa memang melambangkan kecantikan—kecantikan yang kejam saat merasa terancam. Saat angsa mengejar mangsa—ia tidak akan melepaskannya, sebelum memberikan hukuman—Cassandra  meniru sang angsa. “Akhir dari kisah tanpa akhir” Cassandra tersenyum dengan mata sayunya—menatap jam pasir yang kosong pada satu sisi. 

Cassandra membuka matanya. Gadis yang terlelap di atas lantai itu menarik tusuk konde Asphodel dari surainya sendiri—tampak memperhatikan dalam diam—tersenyum setelahnya. “Dunia dusta” gumam Gadis Porselen Dibalik Jeruji Besi—sendirian.


By: HegaEca

Senin, 21 Juni 2021

CERPEN: Untukmu, diriku

 Untukmu, diriku

            Orang bilang menjadi dewasa adalah saat dimana kita kehilangan diri kita. 

Beberapa lainnya mengatakan, menjadi dewasa hanya bisa terjadi saat kita benar-benar menghendakinya. 


Tidak banyak yang membahas mengenai menjadi dewasa karena tuntutan keadaan. 

Apa karena hal itu dianggap tabu?


Ketika seseorang merasakan guncangan yang dahsyat dalam dirinya dalam proses pendewasaan... Orang lain akan mengatakan bahwa dia memiliki iman yang lemah, dia tidak kuat dan jauh dari tuhannya. 

Sedikit, bahkan hampir tidak ada yang benar-benar peduli dan mengkhawatirkan keadaannya. 


Hidup…

Apa selalu seperti ini?..

Akan menjadi orang dewasa seperti apakah diriku?

Aku, jadi sedikit takut.


Syaa menutup bukunya. Melempar pena yang secara tepat sasaran masuk ke gelas murahan yang dijadikannya sebagai tempat bolpoin.

Gadis itu terdiam, melihat jam pada ponsel yang menunjukan pukul 23.57. Beberapa jam lagi ia akan genap berusia 21 Tahun. Namun sitasi aneh ini kembali datang. 


Situasi dimana kesedihan berkepanjangan, untaian benang kekecewaan, rasa frustasi dan ketakutan bergumpal menjadi satu. Menjadi bola penderitaaan yang terasa begitu sesak dan menjengkelkan disaat yang bersamaan. 


Gadis itu meraih korek berwarna emas yang dibelinya di online shop. Ia masuk ke bawah meja dan mulai meringkuk terdiam. 

Perasaan ini selalu kembali, sudah tiga tahun ia merasakannya…

Apa dia tidak baik-baik saja?

Tentu saja tidak…

Syaa menyadari bahwa ia tidak baik-baik saja. Namun bukankah semua orang demikian? Tidak ada orang selalu memiliki jalan mulus dalam hidupnya. 


Ctekkk


Suara korek api yang dinyalakan membuat suasana hening semakin terasa. 

Syaa meniup api yang baru dinyalakannya. 

“Selamat ulang tahun. Aku sangat menyayangimu, diriku” 


Syaa tiba-tiba mengingat perkataan seseorang di masa lampau. “Tidakkah kau terlalu menyayangi dirimu sendiri?”. Begitu katanya.. Syaa hanya merasa kebingungan. Jika ia tidak menyayangi dirinya, siapa yang akan menyayanginya? 

Apa menyayangi diri sendiri adalah kesalahan?


TIDAK!


Syaa tahu betul jawabannya..


Segala ketakutan yang ada pasti akan terlewati…

Segala cobaan berat yang menimpah, pasti akan berlalu…

Karena dirimu berharga…

Karena diriku berharga…

Karena itulah, Bertahanlah…

Kamu, Aku pasti bisa!!!


                                By: HegaEca


CERPEN: Pemangsa Limbah Buangan

Pemangsa Limbah Buangan Menyusuri sungai, membelah gelombang. Tersenyum di tengah aliran. Kedua tangan terlentang, menikmati semilir angin...