Sabtu, 06 Agustus 2022

CERPEN: Pemangsa Limbah Buangan

Pemangsa Limbah Buangan

Menyusuri sungai, membelah gelombang. Tersenyum di tengah aliran. Kedua tangan terlentang, menikmati semilir angin hangat yang nyaman. “Bukankah cuaca hari ini begitu indah?” ujar remaja berusia empat belas itu kepada sang kakak, yang dua tahun lebih tua darinya.

“Hari ini sangat panas dan terlalu panas” si kakak yang menarik jala melirik Laksamana, sang adik yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.

Berlayar ...

Perahu usang dengan goresan pada hampir diseluruh badan, mereka gunakan. Meski terlihat begitu rungkuh, tidak menjadikan benda tua tersebut kehilangan fungsi untuk sekedar berlayar di sungai. Banyak perahu-perahu lain hilir mudik berlalu lalang. Ada yang berlayar seorang diri, ada yang berpasang-pasangan. Satu kesamaan ialah saling menyapa di atas aliran.

Laksamana duduk sambil berpegangan, menyingkirkan sampah-sampah di dekat perahunya. Gemuruh di dalam perutnya membuat Deva sang kakak tertawa kecil. “Seperti suara gendang tabuh anak pak lurah hem” ejek Deva yang tidak begitu digubris sang adik. Laksamana hanya fokus pada tugasnya sambil sesekali melirik wadah ikannya yang masih kosong. “Sepertinya kita tidak akan bisa dapat ikan hari ini” ujar Laksamana. Membantu meraih jala penuh sampah yang diangkat kakaknya.

Devalino Putra, si anak sulung itu terlihat menghela nafas. Ia tahu betul arti tatapan dari Laksamana. Tatapan penuh harapan, mendambakan nasi panas dengan semangkuk sup ikan segar yang penuh kenikmatan.

“Memang cukup sulit di musim panas bukan? Tidak apa-apa, pasti besok kita akan mendapatkan tangkapan bagus” ujar Laksamana, seolah menenangkan kekhawatiran yang dialaminya sendiri. Deva hanya mampu tersenyum, satu-satunya hal yang membuat Deva tidak tahu caranya menyerah, adalah tatapan harapan penuh kepercayaan Laksamana yang tidak pernah sirna.

Setelah membersihkan jala dari sampah-sampah buangan, keduanya mengembalikan perahu pinjaman mereka kepada Pak Galih. Pak tua yang memiliki rumah kecil di dekat sungai, dengan berbaik hati membiarkan kedua remaja ini meminjam perahunya. Menjual hasil tangkapan, lalu membeli kebutuhan kedua remaja itu lakukan sejak empat tahun terakhir. Membantu perekonomian sang ibunda yang sudah sakit-sakitan.

Ayah yang pergi merantau agar bisa memperbaiki perekonomian keluarga, justru tidak kunjung berkabar, apalagi kembali pulang.

Dalam perjalanan, Laksamana melihat sesosok pria yang membuang bungkus rokok ke sungai. Dengan santai pria berjas itu menghisap tembakau sambil bertelepon dengan lawan bicaranya. Laksamana yang melihat tindakan si pelintas tidak diundang, maju hendak menegur. Namun Deva menahan tangannya sambil menggeleng kecil.

“Berbicara kepada si tuli hanyalah tindakan melelahkan yang disengaja” Laksamana melepaskan genggaman sang kakak dan tersenyum kecil. “Tentu melelahkan. Tapi, bahkan jika hal tersebut melelahkan, tetap harus ada yang mengingatkan bukan? Memilih untuk tidak melakukan apa yang harus dilakukan, hanyalah sikap apatis yang disamarkan dengan segudang alasan. Alasan untuk membenarkan tindakan yang telah dilakukan”.

“Permisi” Laksamana menegur dan pria yang ditegur menoleh penuh tanya. “Seharusnya anda tidak membuang sampah ke sungai”. Pria yang masih sibuk dengan telepon genggamnya itu mengibas-ngibas tangannya, menolak mendapatkan gangguan.

“Bahkan bocah tidak lanjut smp saja, tau bahwa tidak boleh membuang sampah sembarangan. Tapi lihat, seorang pria berlagak perkasa dengan pakaian penuh wibawa dan dasi mewah justru berotak rendah”. Pak Galih, pak tua pemilik perahu itu rupanya berjalan di belakang mereka. Mungkin hendak memanen sayur mayur yang tidak jauh ditanamnya di lahan umum milik para warga.

Merasa tersindir si pria berdasi menutup teleponnya dan bertolak pinggang tidak terima. “Itu hanya sampah kecil, kenapa harus diributkan” ujarnya penuh percaya diri. “Bagaimana jika ada seratus ribu orang dengan pemikiran sepertimu, maka ada seratus ribu sampah. Kami ingin menangkap ikan, justru sampah kalian yang kami dapatkan” . Berdehem pelan, pria berdasi itu menghela nafas sambil berlalu pergi. Entah dirinya enggan melanjutkan perdebatan atau mungkin, meski kemungkinannya sangat kecil, ia mengakui kesalahan.

Pak Galih menepuk pundak Laksamana sebelum ia juga beranjak pergi. Deva melangkah ke hadapan Laksamana dan ikut tersenyum. “Kakak mau bantu bu Ita di lapaknya. Dia akan memberikan bawang dan cabai sebagai upah. Kamu pulang lebih dulu saja dan jaga ibu” Deva meninggalkan Laksamana setelah remaja itu mengangguk mengerti.

Sup bawang dan cabai goreng dengan sejumput garam. Jika masih ada beras rasanya tidak terlalu buruk, bahkan terbilang cukup enak. Tapi jika tidak ada lagi sisa beras di rumah, maka ketiga anggota keluarga di rumah reotnya harus mengganjal perut dengan sup bening tanpa isian itu saja.

Laksamana akhirnya kembali berjalan. Masuk ke gang-gang kecil agar ia bisa lebih cepat sampai ke rumah. Di aliran sungai kecil dapat Laksamana lihat para warga berkumpul, tampak mendiskusikan sesuatu.

“Kemarau pak, makin kacau saja” Ujar salah seorang warga yang suaranya dapat Laksamana dengar. Laksamana mendekat, melihat aliran sungai kecil itu yang keruh dan berbusa. Ikan-ikan di sungai kecil itu terapung matitertahan oleh ranting pohon juga buntalan-buntalan sampah di dasar sungai yang mengering.

“Masuk musim panas, sudah pasti terjadi hal seperti ini. Debit air sungai berkurang jadinya didominasi sama air limbah dari hulu sungai sana” Ujar salah seorang warga lainnya. Pak Damar yang merupakan peternak ikan datang bergabung. Sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan topi, ia berujar. “Tahun lalu limbahnya membanjiri pemukiman warga, ternak saya pada hilang. Airnya itu panas pak, ikan saya pada mati, itu di jalur sungai yang besar pasti udah ngga ada ikan kalau lagi kaya gini”.

Laksamana dapat menangkap, anak-anak kecil justru turun ke sungai tersebut, mengambil ikan-ikan yang mengapung tidak bergerak, sambil sesekali bercanda dan tertawa. Terkadang tidak mengetahui apapun menjadikan kita sebagai sosok tanpa rasa  khawatir. Namun apakah ketidaktahuan adalah jawaban?

Tampaknya para warga sudah melapor kepada Dinas Lingkungan Hidup sejak tahun lalu. Masalah seperti ini kerap terjadi terutama di musim panas. Limbah dari pabrik tahu saja sulit teratasi apalagi ditambah dengan peternakan pabrik susu yang berdiri sekitar dua tahun lalu.

Beberapa warga lain ikut mengambil ikan. Entah untuk disantap atau untuk diberikan kepada binatang ternak mereka.

Laksamana tahu bahwa kakaknya Deva melarang ia untuk mengambil ikan di sungai kecil, lantaran pabrik di dekat desa mereka membuang limbah dengan pipa saluran yang mengarah ke aliran sungai kecil ini. Dampaknya sangat terasa karena aliran sungai kecil ini, tidak seperti aliran sungai besar di desa sebelah. Namun Laksamana tetap mengambil beberapa ikan sebelum ia kembali berjalan menuju rumahnya. Mengabaikan peringatan Deva menjadi pilihan Laksamana.

Sesampai di rumah, Laksamana menyapa ibunya yang terbaring di tempat tidur sambil membaca sebuah buku. Laksamana langsung menuju dapur, mencuci dan memasak ikan yang dibawanya sebelum Deva datang. Semangkuk sup ikan panas dengan aroma tidak terlalu sedap akhirnya siap. Tidak ada beras tersisa, namun setidaknya sup ikan ini akan mampu mengganjal perut mereka.

Deva yang baru tiba langsung menatap Laksamana dan menarik sang adik yang sedang menata meja ke dapur sempit rumah mereka. “Ibu sakit, kalau makan ikan itu, gimana kalau makin parah?” Deva melihat sorot mata Laksamana yang sedikit sendu. “Meski kakak bisa belikan ibu obat, dia ngga bisa makan obat itu sebelum makan kan?” Laksamana berujar demikian setelah melihat kantung obat di tangan Deva. Terkadang, ibu Ita pemilik lapak cabai dan bawang, tempat yang Deva kunjungi untuk bantu-bantu akan memberikan uang. Tentu Deva akan langsung menggunakan uang itu untuk membeli obat ibu mereka.  Meski tidak bisa ke dokter dan melakukan pemeriksaan menyeluruh, setidaknya obat pereda nyeri kepala ini membuat ibu mereka tidur lebih nyenyak di malam hari. Kedua bersaudara itu sendiri tidak tahu pasti apa yang diderita ibu mereka.

Laksamana melirik perabot rusak yang ada di sekitarnya. Barang-barang yang ada di rumahnya adalah pemberian atau sampah yang ia dan sang kakak dapatkan di sungai atau tempat pembuangan. Mereka tidak mampu membeli jadi mereka memungutnya. Limbah buangan yang orang-orang anggap tidak berharga dan mereka buang, justru menjadi hal yang berguna untuk keluarga mereka. 

“Seperti makhluk pemangsa limbah buangan. Selama ini kita hidup dari apa yang orang lain buang, kita hidup dari apa yang dianggap tidak berharga dan hanya sekedar sampah semata. Aku juga enggan mengakuinya, tapi kita membutuhkan semua yang mereka buang bukan?” Laksamana memberikan tatapan yang tidak bisa Deva abaikan. “Kita membutuhkannya” Deva menghela nafas sedikit berat, melepaskan lengan adiknya yang kembali menghampiri sang ibu untuk memberikan mangkuk yang sudah diisi dengan sup ikan. Deva menarik sudut bibirnya tersenyum, ikut bergabung dengan keluarga kecilnya. Laksamana memberikan mangkuk lain kepada sang kakak yang duduk di hadapannya.

Bahkan meski mereka tidak memiliki apapun...

Bahkan saat begitu banyak hal yang mereka khawatirkan...

Saat-saat seperti ini lah yang memberikan energi, memberikan tenaga lebih untuk bertahan. Satu hari lagi bertahan untuk hari yang lebih baik di masa depan.

Harapan selalu ada bukan?

“Ibu, Pak Damar ajak Deva buat bantu-bantu di peternakan lele adik beliau di kota sebelah. Peternakan pak Damar gagal bu jadi benih yang masih selamat bakal dipindahkan besok. Karena istri pekerja pak Damar sedang melahirkan, jadi pak Damar butuh pengganti. Deva dapet upah yang lumayan banget, cuma satu minggu ko bu. Deva berangkat besok petang yah”. Laksamana yang mendengar ucapan kakaknya tampak kebingungan. Belum pernah ia berpisah dengan sang kakak satu hari pun.

“Kakak bakal pulang atau justru bakal kayak bapak?” Deva menatap sang adik sambil tersenyum. “Emang ada alasan buat kakak nggak pulang?” Laksamana menunduk kecil. Ia tahu bahwa ia tidak boleh bersikap seperti ini di hadapan ibunya. Laksamana tahu betul bahwa ia harus membuat ibunya lebih santai dan tidak memikirkan hal rumit apapun.

Namun ia tidak mau ditinggalkan lagi.

Rasanya terlalu menakutkan.

Deva menepuk kepala Laksamana dengan sendok di tangannya. Laksamana menatap sorot mata kakaknya yang tersenyum tulus, tatapan yang berbeda saat ayahnya berkata akan pergi merantau. “Apa yang paling berharga untuk kakak ada disini. Jadi, mengapa kakak berniat untuk tidak pulang hem?” ucapan Deva membuat Laksamana tersenyum dan mengangguk kecil. Deva ikut tersenyum, sorot mata penuh harapan milik Laksamana akhirnya kembali. Sorot mata penuh cahaya dan tulus itu adalah hal yang paling memberikannya kekuatan lebih.

Laksamana hampir melupakan hal paling penting dalam hidupnya. Ia tidak memiliki apapun? Tentu saja ia keliru. Ia memiliki ibu yang menyayangi dan mempercayainya, ia juga memiliki kakak yang begitu bisa diandalkan dan begitu disayanginya.

Bukankah apa yang Laksamana miliki adalah hal yang begitu besar?

Apakah kehidupan mereka akan membaik kedepannya?

Entahlah tidak ada yang tahu. Namun selama ada harapan, disitu ada kemungkinan besar. Hal itulah yang kedua saudara itu yakini selama ini.


Sabtu, 26 Juni 2021

CERPEN: Gadis Porselen Dibalik Jeruji Besi

 Gadis Porselen Dibalik Jeruji Besi

Tersenyum… Gadis yang menarik sudut bibirnya itu tersenyum. Menikmati kenyamanan, duduk manis di atas kursi putih megahnya, dilengkapi segelas wine di tangan. Irama melodi dari piringan hitam, memecah keheningan—menambah suasana damai nan tentram. Atmosfer yang begitu sempurna.

Sampai… Gadis dengan surai hitam bergelombang itu, mulai melirik jam pasirnya—tampak sirna pada satu sisi. Retina coklat dengan partikel karamel itu terdiam, helaan nafas halus kini mulai terdengar. Gumam malas pun lolos dengan mudahnya “Sudah waktunya”. Dengan senyuman, gadis itu bersenandung kecil. Membiarkan gaun burgundy panjangnya menjuntai, berjalan dengan tenang di tengah keheningan. Di depan sebuah kolam besar, ia menghentikan langkahnya. Membalik tubuh, sebelum kembali memejamkan kelopak mata—menghempaskan tubuhnya—jatuh ke dalam kolam.             

Sampai….. Ia kembali membuka kelopak matanya. Memperlihatkan retina sayu, yang tampak lelah. Gadis itu menoleh—melihat wanita yang serupa dengannya, berdiri dibalik jeruji, menatap ke arahnya—membawa sebuah nampan di tangan. Jika diperhatikan, kerutan pada wajah itu semakin bertambah.

Gadis itu akhirnya bangkit—berjalan ke arah wanita dibalik jeruji besi, dilengkapi senyuman manisnya. Ia menerima nampan dari sela horizontal yang tersedia. Gaun tidur putih panjangnya tampak kusut, surai panjangnya terlihat tidak terurus. Wanita di balik jeruji besi itu, memberikan sebuah buku sketsa gambar, boneka porselen, kepada si gadis bergaun tidur. Dengan senang, lengannya menerima buku tersebut sambil kembali tersenyum.

“Terima kasih, mamah” ujarnya sebelum wanita itu berbalik pergi meninggalkannya.

Sesat… Ia kembali lupa, bahwa dirinyalah gadis dibalik jeruji besi.

Gadis itu berbalik, berjalan menuju kursi dan meja kacanya—mulai membuka buku—memperhatikan sketsa gambar sambil memakan potongan pisang dalam mangkuk. Dengan senandung, ia membaca tulisan dalam gambar pada buku yang diberikan ibunya. “Namanya seperti namamu, Cassandra”. Gadis itu menatap dinding cermin, mendongak menatap langit-langit cermin dan membungkuk menatap lantai cermin. Ia tampak kembali tersenyum “Karena ini, memanglah kisahmu”.  Gadis itu menutup buku di tangannya, menopang dagu menatap dinding yang memantulkan perwujudannya.

Lagi—ia kembali tersenyum. “Di sebuah pulau terpencil, terdapat sebuah kastil megah milik seorang bangsawan kaya raya. Ia membawa serta istrinya yang seorang pembuat boneka porselen dan putrinya yang jahat untuk tinggal bersamanya—mengisi kekosongan dalam kastil hitam besar—membawa kehangatan”.  Cassandra—gadis dengan kulit seputih porselen itu meraih sisir—mulai menyisir rambutnya. Masih melanjutkan dongeng yang diceritakannya. “Namun, Kastil itu tidak ditinggali untuk mengisi kekosongan—untuk memberikan kehangatan. Kastil itu, ditempati untuk memperbaiki yang rusak—seperti boneka porselen yang pecah. Sang putri jahat harus diperbaiki”. Cassandra kembali tersenyum—menarik sudut bibirnya untuk tersenyum, adalah hal yang mudah.

Cassandra menaruh sisir di mejanya, dan mulai memilih tusuk konde cantik mana yang akan dirinya kenakan. Tusuk rambut dengan ukiran kepala bunga Asphodel berdaun kelabu, berkelopak kuning pucat, menjadi pilihan. Cassandra menggulung setengah surainya—menata dengan cantik, berhiaskan tusuk konde kesukaannya. “Sama seperti bunga Asphodel, yang bermakna kematian—pembawa pesan penyesalan dalam kubur. Nama sang putri jahat, juga memiliki makna yang cantik. Cassandra Queen Lilith, Ratu malam yang memiliki kisah tragis. Dalam perang Troya, Cassandra adalah nama seorang putri yang mampu melihat masa depan. Namun ia dikutuk, hingga tidak ada seorang pun yang percaya pada penglihatannya. Akhirnya, ia diberikan kepada salah satu orang Yunani, untuk menjadi selir dan akhir dari kisahnya adalah kematian—terbunuh oleh istri sah dari suaminya. Bukankah itu adalah kisah hidup, yang sangat indah?”.

Cassandra kembali tersenyum—melirik jeruji yang membatasi kamar cerminnya dengan kamar lain. Retina sayu Cassandra semakin terasa berat. “Setidaknya, saat Cassandra itu dianggap rusak, ia masih memiliki kebebasannya. Apa Cassandra ini terlalu rusak? Layaknya boneka porselen yang tidak akan bisa diperbaiki seperti sedia kala?”. Cassandra memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Mengingat saat ibu dan ayahnya selalu memuji kecantikan Cassandra—seperti boneka porselen—Cassandra memiliki rupa mendekati sempurna, begitu rupawan dan indah. 

‘Saat sudah rusak, tidak lagi terlihat indah bukan? Padahal aku hanya meniru kalian’. Cassandra menggeleng kecil, turun dari kursinya dan berbaring di atas lantai cermin—terasa begitu dingin menusuk kulit. Suasana dan perasaan yang sangat familiar dengan dirinya. 

‘Tidak ada kehangatan’ Cassandra menyilang kedua tangannya di dada—mulai memejamkan matanya—menggapai kebebasan. Rasa nyaman mulai terasa, Cassandra sadar dalam lelapnya. Gadis itu merasakan tubuhnya yang mulai terasa lumpuh, seolah tengah ditarik, seolah merasakan sensasi jatuh tersedot dalam spiral, yang semakin lama semakin sempit dan meruncing. Saat Cassandra membuka matanya—ia kembali pada saat itu. Saat dimana dirinya pertama kali memasuki ruang cermin—menjadi Gadis porselen dibalik jeruji besi. Cassandra menarik sudut bibirnya, melihat dirinya kecil yang menatapnya tanpa emosi—terlalu tenang—seperti monster berdarah dingin.

Cassandra melangkah maju, membuat gaunnya berubah menjadi gaun hitam dengan ekor menjuntai. Surai panjangnya tersimpul rapi, dengan tusuk konde berkepala angsa emas—bermata kristal. Cassandra menghampiri Cassandra kecil—gadis porselen dibalik jeruji besi. “Mereka bilang kau harus cantik, mereka bilang kau harus kurus, mereka bilang kau harus penurut, mereka bilang kau harus diam. Dengan begitu kau tidak lagi rusak. Tersenyumlah, tersenyum arti dari kebahagiaan. Tersenyum tidaklah sulit—kau hanya perlu menarik kedua sudut bibirmu—setelahnya kau akan terlihat bahagia. Mungkin suatu hari nanti kau akan benar-benar bahagia”. Cassandra kecil mendengarkan—tampak menganalisa ucapan dirinya yang lebih dewasa, menyidik menatap Cassandra dewasa.

“Apa salahnya tidak cantik? Apa salahnya bertubuh gempal? Mengapa aku harus menuruti semuanya? Mengapa aku harus diam saat aku ingin bicara? Semuanya selalu mengenai apa yang Mereka Bilang. Bukan mengenai apa yang Kubilang. Seperti Light Yagami, aku harus tersenyum di hadapan musuhku?” pertanyaan Cassandra kecil membuat Cassandra kembali tersenyum—menunjukan cara mudah tersenyum.

“Karena jika kau berontak—kau akan terlihat semakin rusak. Kau—akan menghabiskan 14 tahun di dalam sana. Sendirian—kedinginan. Light Yagami, tersenyum di hadapan musuh, yang mampu dirinya hukum dengan buku ajaib, kau juga memiliki benda ajaib” Cassandra kecil mundur beberapa langkah—menatap Cassandra. “Bahkan, walaupun bukan sepenuhnya salahku?” pertanyaan Cassandra kecil membuat Cassandra mengangguk. Gadis kecil yang terlihat semakin kurus itu ikut mengangguk dan tersenyum manis.

 “Tersenyum tidaklah sulit” ujar Cassandra kecil dengan senyuman manisnya. Cassandra merasa urusnnya telah selesai, ia membalik tubuhnya, membuat penglihatannya mulai berubah. Situasi yang Cassandra lihat mulai kembali terbentuk ulang.

Ditatapnya saat dimana ibunya menendang dua anak anjing hingga mereka kesakitan, tampak sekarat. Setelahnya, ia pergi begitu saja. Cassandra memperhatikan—menatap dirinya kecil yang berjalan ke arah kedua anjing itu—menarik tusuk konde dari rambutnya dan menusukkan nya pada kedua leher anak anjing itu. Kedua orang tuanya hanya memperhatikan dari kejauhan terkejut pada apa yang Cassandra lakukan. Anak berusia 9 tahun melakukan hal yang diluar logika. “Penderitaanmu sudah berakhir, bahagialah” gumam Casandra kecil sambil menarik tusuk konde angsanya—kembali menancapkan pada simpul rambutnya. Dari kejauhan Cassandra kecil menatap ibunya. “Mengapa menyakiti mereka?” bukan mendapatkan jawaban—Casandra kecil mendapati ibunya berbalik tanpa kembali menoleh ke arahnya—begitu pula ayahnya.

Cassandra dewasa yang memperhatikan hal tersebut hanya tersenyum manis—melirik jam pasir melayangnya, yang sudah hampir sirna pada satu sisinya. Sambil berbalik—Cassandra bergumam dalam setiap langkahnya. “Monster tanpa emosi, kau dibuang”. Kini, Cassandra sudah berada di tepi jurang—gadis itu menoleh sekali lagi—memperhatikan dirinya kecil yang sudah menaruh tusuk konde berlapis darah pada leher. “Harusnya saat itu kau melakukannya—bukan berharap ampunan orang tuamu. Berharap pada kemustahilan” Cassandra dewasa kembali berbalik—menghempaskan tubuhnya ke dasar jurang—berpisah dengan kebebasan—kembali pada kenyataan.

Cassandra yang tertidur di lantai terbangun. Mendengar suara isak tangis yang tidak asing di telinganya. Retinanya kini menatap ayah dan ibunya di balik jeruji besi. Dengan mata berair, ibu Cassandra hanya menatap Cassandra sambil terduduk. Sedangkan ayahnya, kini membuka pintu jeruji, yang sudah sekian lama tidak pernah terbuka. Cassandra bangkit dan berjalan menuju ibu dan ayahnya—merasakan sebuah harapan.

“Bukan berbalik, kami harusnya merangkulmu. Bukan mencoba memperbaiki, kami harusnya membimbingmu. Semua ini salah bukan? Semua ini tidak termaafkan bukan?” Cassandra sempat terdiam beberapa saat, sebelum kembali melangkah mendekat. Dengan senyumannya ia hanya berkata “Tidak ada dosa yang tidak bisa termaafkan” Cassandra akhirnya merasakan hal itu. Pelukan dari kedua orang tua nya, gadis itu tersenyum dengan mata berlinang. Senyuman adalah arti dari kebahagiaan—namun saat ini, Cassandra merasa penuh amarah. Cassandra menarik tusuk konde angsa emasnya—menusuk leher ibu dan ayahnya secara bergantian, hingga keduanya bersimbah darah—gaun tidur putih Cassandra juga telah berubah warna—corak yang sangat indah—warna kesukaannya.

“Apa yang sebenarnya diinginkan putri dari kastil hitam? Pengakuan? Atau Pendengar?. Apa yang sebenarnya diinginkan monster berdarah dingin? Kebebasan? Atau kebahagiaan?” Cassandra menatap  kedua orang tuanya yang sekarat, dengan senyuman dan mata berair. Senyuman arti dari kebahagiaan—seperti yang ibunya ajarkan.

“Apa yang sebenarnya dirasakan Gadis Porselen dibalik jeruji besi?  Ia benar-benar tidak dapat merasakan emosi? Atau, Tidak memiliki kesempatan untuk belajar emosi? Dibandingkan kalimat bahwa aku cantik. Aku lebih membutuhkan kalimat bahwa kalian mencintaiku. Dibandingkan hampa dan dingin yang diberikan, aku lebih membutuhkan pelukan hangat dari kalian, namun pelukan itu tidak terasa hangat”.

Cassandra tampak mengatur nafas—kembali memasang tusuk konde angsa emasnya. Angsa memang melambangkan kecantikan—kecantikan yang kejam saat merasa terancam. Saat angsa mengejar mangsa—ia tidak akan melepaskannya, sebelum memberikan hukuman—Cassandra  meniru sang angsa. “Akhir dari kisah tanpa akhir” Cassandra tersenyum dengan mata sayunya—menatap jam pasir yang kosong pada satu sisi. 

Cassandra membuka matanya. Gadis yang terlelap di atas lantai itu menarik tusuk konde Asphodel dari surainya sendiri—tampak memperhatikan dalam diam—tersenyum setelahnya. “Dunia dusta” gumam Gadis Porselen Dibalik Jeruji Besi—sendirian.


By: HegaEca

Senin, 21 Juni 2021

CERPEN: Untukmu, diriku

 Untukmu, diriku

            Orang bilang menjadi dewasa adalah saat dimana kita kehilangan diri kita. 

Beberapa lainnya mengatakan, menjadi dewasa hanya bisa terjadi saat kita benar-benar menghendakinya. 


Tidak banyak yang membahas mengenai menjadi dewasa karena tuntutan keadaan. 

Apa karena hal itu dianggap tabu?


Ketika seseorang merasakan guncangan yang dahsyat dalam dirinya dalam proses pendewasaan... Orang lain akan mengatakan bahwa dia memiliki iman yang lemah, dia tidak kuat dan jauh dari tuhannya. 

Sedikit, bahkan hampir tidak ada yang benar-benar peduli dan mengkhawatirkan keadaannya. 


Hidup…

Apa selalu seperti ini?..

Akan menjadi orang dewasa seperti apakah diriku?

Aku, jadi sedikit takut.


Syaa menutup bukunya. Melempar pena yang secara tepat sasaran masuk ke gelas murahan yang dijadikannya sebagai tempat bolpoin.

Gadis itu terdiam, melihat jam pada ponsel yang menunjukan pukul 23.57. Beberapa jam lagi ia akan genap berusia 21 Tahun. Namun sitasi aneh ini kembali datang. 


Situasi dimana kesedihan berkepanjangan, untaian benang kekecewaan, rasa frustasi dan ketakutan bergumpal menjadi satu. Menjadi bola penderitaaan yang terasa begitu sesak dan menjengkelkan disaat yang bersamaan. 


Gadis itu meraih korek berwarna emas yang dibelinya di online shop. Ia masuk ke bawah meja dan mulai meringkuk terdiam. 

Perasaan ini selalu kembali, sudah tiga tahun ia merasakannya…

Apa dia tidak baik-baik saja?

Tentu saja tidak…

Syaa menyadari bahwa ia tidak baik-baik saja. Namun bukankah semua orang demikian? Tidak ada orang selalu memiliki jalan mulus dalam hidupnya. 


Ctekkk


Suara korek api yang dinyalakan membuat suasana hening semakin terasa. 

Syaa meniup api yang baru dinyalakannya. 

“Selamat ulang tahun. Aku sangat menyayangimu, diriku” 


Syaa tiba-tiba mengingat perkataan seseorang di masa lampau. “Tidakkah kau terlalu menyayangi dirimu sendiri?”. Begitu katanya.. Syaa hanya merasa kebingungan. Jika ia tidak menyayangi dirinya, siapa yang akan menyayanginya? 

Apa menyayangi diri sendiri adalah kesalahan?


TIDAK!


Syaa tahu betul jawabannya..


Segala ketakutan yang ada pasti akan terlewati…

Segala cobaan berat yang menimpah, pasti akan berlalu…

Karena dirimu berharga…

Karena diriku berharga…

Karena itulah, Bertahanlah…

Kamu, Aku pasti bisa!!!


                                By: HegaEca


Sabtu, 17 Oktober 2020

Cara Menghadapi Kesedihan Harimu

 


Bagaimana kabarmu hari ini? 

Semoga tidak lebih buruk dari hari kemarin. Meski terkadang terasa sulit dan begitu berat. Yakinlah bahwa kau adalah sosok yang kuat dan hebat. Kau akan mampu melewati semuanya. Kau akan mampu melewati hari yang sendu ini.


Bagaimana jika kita membahas hal yang mungkin bisa mengatasi kesedihan harimu? Baiklah kita mulai…

Cara Mengatasi Kesedihan

  • Pahami kesedihan
    Memahami emosi kesedihan yang dirasakan, dapat membantumu melawan kesedihan itu sendiri. Namun, jangan terlalu lama memikirkannya, meski sangat sulit untuk mengalihkan pikiranmu. Cobalah untuk memikirkan hal lain, seperti contohnya langkah-langkah yang akan kau ambil setelah menghadapi masalah dari sumber kesedihanmu..

  • Mencoba menghadapi rasa sedih

Jangan menghindari rasa sedih. Menghadapi rasa sedih dengan menyendiri selama seharian, kemungkinan dapat membuat perasaan menjadi lebih baik. Menyendiri bukan menjadikan dirimu sebagai sosok yang lemah. Saat menyendiri kita akan lebih mampu melihat diri kita sendiri dengan lebih baik. Kita akan lebih mampu memahami alasan dibalik kesedihan kita, juga permasalahan yang mendasari rasa sedih kita. Saat kita sudah memahami dengan baik, kita akan mengetahui apa yang harus kita lakukan, kita akan melihat jalan terbaik yang bisa kita ambil atas semua yang terjadi. Karenannya menyendiri sambil mendengarkan musik melankolis bukanlah pilihan yang buruk.

  • Tidak apa-apa jika kau menangis
    Sebagian orang mungkin memilih untuk menyembunyikan kesedihannya. Padahal tidak ada salahnya untuk meluapkan kesedihan. Jika kau ingin menangis, maka menangislah. Menangis dapat membuat perasaan menjadi lebih baik dan lebih lega. Menangis tidak menjadikan dirimu lemah. Saat kau menangis kau akan menjadi lebih kuat dari detik sebelumnya, kau akan menjadi lebih tangguh. Kau memahami luapan emosi yang kau rasakan. Memahami perasaan diri sendiri hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tangguh. Kau adalah salah satunya.

  • Ayo kembali tertawa!!!
    Saat merasa sedih, lakukanlah hal yang akan membuatmu kembali tertawa. Hal sederhana seperti menonton film-film komedi atau video lucu di media sosial. Mungkin kau bisa berbincang kecil dengan keluarga atau teman yang memiliki skill komedi (Seseorang yang mampu membuat suasana percakapan menjadi lebih jenaka), dengan begitu kau akan tertawa lebih mudah.

  • Bolehkah kita berkeluh kesah?
    Jangan biarkan dirimu terus terperangkap dalam kesedihan. Cobalah untuk berbagi cerita dengan orang yang kau percaya, seperti orang tua, teman, atau pasangan. Namun jika kau berada di titik dimana kau tidak mampu mengungkapkan apapun kepada orang lain, maka cobalah berbicara kepada pantulan dirimu sendiri. Metode mencurahkan isi hati kepada pantulan dirimu dari sebuah cermin bukan hal yang tidak mungkin. Sadarilah bahwa yang mengenal dirimu dengan sangat baik adalah dirimu sendiri. Tidak ada salahnya mencurahkan isi hati kepada dirimu sendiri. Sebagai bentuk rasa mencintai diri sendiri dan setelahnya kau akan menjadi lebih lega. 

  • Apa yang ingin kau lakukan saat ini?
    Jangan hanya fokus dengan rasa sedih yang dialami, tapi coba melakukan hal-hal yang kau senangi agar suasana hati menjadi lebih baik. Bila suka bepergian, kau dapat mencoba bertamasya ke tempat yang ingin kau kunjungi, sebagai  “obat” untuk menghilangkan kesedihan. Jika kau menyukai musik, mulailah bermain musik atau mendengarkan musik-musik yang kau sukai sebagai pengalih kesedihanmu. Intinya tanyakanlah kepada dirimu, apa yang ingin kau lakukan saat ini.

  • Ungkapkan dengan tulisan
    Menulis bisa menjadi terapi dalam menyembuhkan rasa sedih. Kau dapat menumpahkan kesedihan atau kekecewaan pada sebuah tulisan agar perasaan dapat menjadi lebih baik. 


Jangan biarkan rasa sedih yang kau rasakan terjadi berlarut-larut. Yakinlah bahwa segala hal tersebut akan berlalu seiring berjalannya waktu. Jika rasa sedih yang kau rasakan berlangsung secara berkepanjangan, berlebihan hingga mengganggu aktivitas sehari-hari, atau muncul tanpa alasan yang jelas, disarankan untuk segera konsultasi ke psikiater atau psikolog untuk penanganan yang tepat.

Pesanku adalah, jangan lupa bahwa kau harus mencintai dirimu sendiri. Masa depanmu sangatlah cerah jadi kesedihan ini hanyalah kerikil yang menghadang jalanmu menuju masa depan indahmu. 

Kau akan bahagia….

Yakinlah...



Selasa, 01 September 2020

Jejak Air Mata Sang Bulan

Jejak Air Mata Sang Bulan


Keinginan hati yang menggumpal

Lalah darah yang mengental

Tidak sedalam lautan,

Namun, begitu merusak perasaan.


Dibalik gulita malam, 

Sang bulan mengintai.

Telusuri jalan kesunyian,

Tenggelam dalam isakan.


Sukma melanglang buana

Pandangan menyendu terharu

Menyusup di kegelapan

Jejak Air Mata Sang Bulan



By: HegaEca

Minggu, 30 Agustus 2020

HITAM

 HITAM


Hitam,

Warna yang mampu melenyapkan apapun

Kegundahan, ketidaktenangan ataupun kegelisahan

Apapun yang kau rasakan, mampu tenggelam dengan mudah, oleh sang kelam


Pengusung hati kelabu

Sendu yang menderu

Agaknya terdengar bak gemuruh


Kelakar riang kian mulai mengusik

Pembaringan menjadi tempat terbaik


Terhanyut, terisak.

Terlelap menjadi dambaan

Tuan kelam, bantu diriku terlelap

Tak apa meski kau enggan membangunkan

Karena aku sudah terbiasa,

Terbiasa melihat warna hitam di mata. 



HegaEca


Bagaimana Harimu?

 

Bagaimana Harimu?

Bagaimana harimu?

Kau merasakan bahagia? Atau tengah terluka?

Jika kau merasa bahagia, maka jangan lupa untuk tersenyum sepanjang hari. Percayalah, senyumanmu akan membawa kebahagiaan bagi orang lain. Bagi orang-orang yang melihatnya. 

Namun, jika kau tengah merasa terlukamerasa penuh kesedihan. Tidak apa-apa, bukan salahmu jika kau merasakan rasa sedih, bukan salahmu jika kau merasa terluka. 

Yakinlah, luka yang kau alami akan membuatmu semakin kuat. Akan menjadi pengalaman berharga yang bisa kau ingat. Akan membentuk pemikiran dan pribadimu semakin tangguh. 

Kesedihan ini akan berlalu. Rasa sakit yang kau alami akan segera hilang.

Semuanya akan segera berubah menjadi kebahagiaan. 

Kau pantas mendapatkan kebahagiaan.

Karena kau adalah sosok yang berharga....

Ingatlah itu....



CERPEN: Pemangsa Limbah Buangan

Pemangsa Limbah Buangan Menyusuri sungai, membelah gelombang. Tersenyum di tengah aliran. Kedua tangan terlentang, menikmati semilir angin...