Sabtu, 06 Agustus 2022

CERPEN: Pemangsa Limbah Buangan

Pemangsa Limbah Buangan

Menyusuri sungai, membelah gelombang. Tersenyum di tengah aliran. Kedua tangan terlentang, menikmati semilir angin hangat yang nyaman. “Bukankah cuaca hari ini begitu indah?” ujar remaja berusia empat belas itu kepada sang kakak, yang dua tahun lebih tua darinya.

“Hari ini sangat panas dan terlalu panas” si kakak yang menarik jala melirik Laksamana, sang adik yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.

Berlayar ...

Perahu usang dengan goresan pada hampir diseluruh badan, mereka gunakan. Meski terlihat begitu rungkuh, tidak menjadikan benda tua tersebut kehilangan fungsi untuk sekedar berlayar di sungai. Banyak perahu-perahu lain hilir mudik berlalu lalang. Ada yang berlayar seorang diri, ada yang berpasang-pasangan. Satu kesamaan ialah saling menyapa di atas aliran.

Laksamana duduk sambil berpegangan, menyingkirkan sampah-sampah di dekat perahunya. Gemuruh di dalam perutnya membuat Deva sang kakak tertawa kecil. “Seperti suara gendang tabuh anak pak lurah hem” ejek Deva yang tidak begitu digubris sang adik. Laksamana hanya fokus pada tugasnya sambil sesekali melirik wadah ikannya yang masih kosong. “Sepertinya kita tidak akan bisa dapat ikan hari ini” ujar Laksamana. Membantu meraih jala penuh sampah yang diangkat kakaknya.

Devalino Putra, si anak sulung itu terlihat menghela nafas. Ia tahu betul arti tatapan dari Laksamana. Tatapan penuh harapan, mendambakan nasi panas dengan semangkuk sup ikan segar yang penuh kenikmatan.

“Memang cukup sulit di musim panas bukan? Tidak apa-apa, pasti besok kita akan mendapatkan tangkapan bagus” ujar Laksamana, seolah menenangkan kekhawatiran yang dialaminya sendiri. Deva hanya mampu tersenyum, satu-satunya hal yang membuat Deva tidak tahu caranya menyerah, adalah tatapan harapan penuh kepercayaan Laksamana yang tidak pernah sirna.

Setelah membersihkan jala dari sampah-sampah buangan, keduanya mengembalikan perahu pinjaman mereka kepada Pak Galih. Pak tua yang memiliki rumah kecil di dekat sungai, dengan berbaik hati membiarkan kedua remaja ini meminjam perahunya. Menjual hasil tangkapan, lalu membeli kebutuhan kedua remaja itu lakukan sejak empat tahun terakhir. Membantu perekonomian sang ibunda yang sudah sakit-sakitan.

Ayah yang pergi merantau agar bisa memperbaiki perekonomian keluarga, justru tidak kunjung berkabar, apalagi kembali pulang.

Dalam perjalanan, Laksamana melihat sesosok pria yang membuang bungkus rokok ke sungai. Dengan santai pria berjas itu menghisap tembakau sambil bertelepon dengan lawan bicaranya. Laksamana yang melihat tindakan si pelintas tidak diundang, maju hendak menegur. Namun Deva menahan tangannya sambil menggeleng kecil.

“Berbicara kepada si tuli hanyalah tindakan melelahkan yang disengaja” Laksamana melepaskan genggaman sang kakak dan tersenyum kecil. “Tentu melelahkan. Tapi, bahkan jika hal tersebut melelahkan, tetap harus ada yang mengingatkan bukan? Memilih untuk tidak melakukan apa yang harus dilakukan, hanyalah sikap apatis yang disamarkan dengan segudang alasan. Alasan untuk membenarkan tindakan yang telah dilakukan”.

“Permisi” Laksamana menegur dan pria yang ditegur menoleh penuh tanya. “Seharusnya anda tidak membuang sampah ke sungai”. Pria yang masih sibuk dengan telepon genggamnya itu mengibas-ngibas tangannya, menolak mendapatkan gangguan.

“Bahkan bocah tidak lanjut smp saja, tau bahwa tidak boleh membuang sampah sembarangan. Tapi lihat, seorang pria berlagak perkasa dengan pakaian penuh wibawa dan dasi mewah justru berotak rendah”. Pak Galih, pak tua pemilik perahu itu rupanya berjalan di belakang mereka. Mungkin hendak memanen sayur mayur yang tidak jauh ditanamnya di lahan umum milik para warga.

Merasa tersindir si pria berdasi menutup teleponnya dan bertolak pinggang tidak terima. “Itu hanya sampah kecil, kenapa harus diributkan” ujarnya penuh percaya diri. “Bagaimana jika ada seratus ribu orang dengan pemikiran sepertimu, maka ada seratus ribu sampah. Kami ingin menangkap ikan, justru sampah kalian yang kami dapatkan” . Berdehem pelan, pria berdasi itu menghela nafas sambil berlalu pergi. Entah dirinya enggan melanjutkan perdebatan atau mungkin, meski kemungkinannya sangat kecil, ia mengakui kesalahan.

Pak Galih menepuk pundak Laksamana sebelum ia juga beranjak pergi. Deva melangkah ke hadapan Laksamana dan ikut tersenyum. “Kakak mau bantu bu Ita di lapaknya. Dia akan memberikan bawang dan cabai sebagai upah. Kamu pulang lebih dulu saja dan jaga ibu” Deva meninggalkan Laksamana setelah remaja itu mengangguk mengerti.

Sup bawang dan cabai goreng dengan sejumput garam. Jika masih ada beras rasanya tidak terlalu buruk, bahkan terbilang cukup enak. Tapi jika tidak ada lagi sisa beras di rumah, maka ketiga anggota keluarga di rumah reotnya harus mengganjal perut dengan sup bening tanpa isian itu saja.

Laksamana akhirnya kembali berjalan. Masuk ke gang-gang kecil agar ia bisa lebih cepat sampai ke rumah. Di aliran sungai kecil dapat Laksamana lihat para warga berkumpul, tampak mendiskusikan sesuatu.

“Kemarau pak, makin kacau saja” Ujar salah seorang warga yang suaranya dapat Laksamana dengar. Laksamana mendekat, melihat aliran sungai kecil itu yang keruh dan berbusa. Ikan-ikan di sungai kecil itu terapung matitertahan oleh ranting pohon juga buntalan-buntalan sampah di dasar sungai yang mengering.

“Masuk musim panas, sudah pasti terjadi hal seperti ini. Debit air sungai berkurang jadinya didominasi sama air limbah dari hulu sungai sana” Ujar salah seorang warga lainnya. Pak Damar yang merupakan peternak ikan datang bergabung. Sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan topi, ia berujar. “Tahun lalu limbahnya membanjiri pemukiman warga, ternak saya pada hilang. Airnya itu panas pak, ikan saya pada mati, itu di jalur sungai yang besar pasti udah ngga ada ikan kalau lagi kaya gini”.

Laksamana dapat menangkap, anak-anak kecil justru turun ke sungai tersebut, mengambil ikan-ikan yang mengapung tidak bergerak, sambil sesekali bercanda dan tertawa. Terkadang tidak mengetahui apapun menjadikan kita sebagai sosok tanpa rasa  khawatir. Namun apakah ketidaktahuan adalah jawaban?

Tampaknya para warga sudah melapor kepada Dinas Lingkungan Hidup sejak tahun lalu. Masalah seperti ini kerap terjadi terutama di musim panas. Limbah dari pabrik tahu saja sulit teratasi apalagi ditambah dengan peternakan pabrik susu yang berdiri sekitar dua tahun lalu.

Beberapa warga lain ikut mengambil ikan. Entah untuk disantap atau untuk diberikan kepada binatang ternak mereka.

Laksamana tahu bahwa kakaknya Deva melarang ia untuk mengambil ikan di sungai kecil, lantaran pabrik di dekat desa mereka membuang limbah dengan pipa saluran yang mengarah ke aliran sungai kecil ini. Dampaknya sangat terasa karena aliran sungai kecil ini, tidak seperti aliran sungai besar di desa sebelah. Namun Laksamana tetap mengambil beberapa ikan sebelum ia kembali berjalan menuju rumahnya. Mengabaikan peringatan Deva menjadi pilihan Laksamana.

Sesampai di rumah, Laksamana menyapa ibunya yang terbaring di tempat tidur sambil membaca sebuah buku. Laksamana langsung menuju dapur, mencuci dan memasak ikan yang dibawanya sebelum Deva datang. Semangkuk sup ikan panas dengan aroma tidak terlalu sedap akhirnya siap. Tidak ada beras tersisa, namun setidaknya sup ikan ini akan mampu mengganjal perut mereka.

Deva yang baru tiba langsung menatap Laksamana dan menarik sang adik yang sedang menata meja ke dapur sempit rumah mereka. “Ibu sakit, kalau makan ikan itu, gimana kalau makin parah?” Deva melihat sorot mata Laksamana yang sedikit sendu. “Meski kakak bisa belikan ibu obat, dia ngga bisa makan obat itu sebelum makan kan?” Laksamana berujar demikian setelah melihat kantung obat di tangan Deva. Terkadang, ibu Ita pemilik lapak cabai dan bawang, tempat yang Deva kunjungi untuk bantu-bantu akan memberikan uang. Tentu Deva akan langsung menggunakan uang itu untuk membeli obat ibu mereka.  Meski tidak bisa ke dokter dan melakukan pemeriksaan menyeluruh, setidaknya obat pereda nyeri kepala ini membuat ibu mereka tidur lebih nyenyak di malam hari. Kedua bersaudara itu sendiri tidak tahu pasti apa yang diderita ibu mereka.

Laksamana melirik perabot rusak yang ada di sekitarnya. Barang-barang yang ada di rumahnya adalah pemberian atau sampah yang ia dan sang kakak dapatkan di sungai atau tempat pembuangan. Mereka tidak mampu membeli jadi mereka memungutnya. Limbah buangan yang orang-orang anggap tidak berharga dan mereka buang, justru menjadi hal yang berguna untuk keluarga mereka. 

“Seperti makhluk pemangsa limbah buangan. Selama ini kita hidup dari apa yang orang lain buang, kita hidup dari apa yang dianggap tidak berharga dan hanya sekedar sampah semata. Aku juga enggan mengakuinya, tapi kita membutuhkan semua yang mereka buang bukan?” Laksamana memberikan tatapan yang tidak bisa Deva abaikan. “Kita membutuhkannya” Deva menghela nafas sedikit berat, melepaskan lengan adiknya yang kembali menghampiri sang ibu untuk memberikan mangkuk yang sudah diisi dengan sup ikan. Deva menarik sudut bibirnya tersenyum, ikut bergabung dengan keluarga kecilnya. Laksamana memberikan mangkuk lain kepada sang kakak yang duduk di hadapannya.

Bahkan meski mereka tidak memiliki apapun...

Bahkan saat begitu banyak hal yang mereka khawatirkan...

Saat-saat seperti ini lah yang memberikan energi, memberikan tenaga lebih untuk bertahan. Satu hari lagi bertahan untuk hari yang lebih baik di masa depan.

Harapan selalu ada bukan?

“Ibu, Pak Damar ajak Deva buat bantu-bantu di peternakan lele adik beliau di kota sebelah. Peternakan pak Damar gagal bu jadi benih yang masih selamat bakal dipindahkan besok. Karena istri pekerja pak Damar sedang melahirkan, jadi pak Damar butuh pengganti. Deva dapet upah yang lumayan banget, cuma satu minggu ko bu. Deva berangkat besok petang yah”. Laksamana yang mendengar ucapan kakaknya tampak kebingungan. Belum pernah ia berpisah dengan sang kakak satu hari pun.

“Kakak bakal pulang atau justru bakal kayak bapak?” Deva menatap sang adik sambil tersenyum. “Emang ada alasan buat kakak nggak pulang?” Laksamana menunduk kecil. Ia tahu bahwa ia tidak boleh bersikap seperti ini di hadapan ibunya. Laksamana tahu betul bahwa ia harus membuat ibunya lebih santai dan tidak memikirkan hal rumit apapun.

Namun ia tidak mau ditinggalkan lagi.

Rasanya terlalu menakutkan.

Deva menepuk kepala Laksamana dengan sendok di tangannya. Laksamana menatap sorot mata kakaknya yang tersenyum tulus, tatapan yang berbeda saat ayahnya berkata akan pergi merantau. “Apa yang paling berharga untuk kakak ada disini. Jadi, mengapa kakak berniat untuk tidak pulang hem?” ucapan Deva membuat Laksamana tersenyum dan mengangguk kecil. Deva ikut tersenyum, sorot mata penuh harapan milik Laksamana akhirnya kembali. Sorot mata penuh cahaya dan tulus itu adalah hal yang paling memberikannya kekuatan lebih.

Laksamana hampir melupakan hal paling penting dalam hidupnya. Ia tidak memiliki apapun? Tentu saja ia keliru. Ia memiliki ibu yang menyayangi dan mempercayainya, ia juga memiliki kakak yang begitu bisa diandalkan dan begitu disayanginya.

Bukankah apa yang Laksamana miliki adalah hal yang begitu besar?

Apakah kehidupan mereka akan membaik kedepannya?

Entahlah tidak ada yang tahu. Namun selama ada harapan, disitu ada kemungkinan besar. Hal itulah yang kedua saudara itu yakini selama ini.


CERPEN: Pemangsa Limbah Buangan

Pemangsa Limbah Buangan Menyusuri sungai, membelah gelombang. Tersenyum di tengah aliran. Kedua tangan terlentang, menikmati semilir angin...