Antara Seni dan Popularitas: Haruskah Penulis Menikmati Proses atau Mengejar Hasil?

Menulis untuk Ekspresi atau Kesuksesan? Dilema Abadi Seorang Penulis

Dunia kepenulisan selalu dihantui oleh pertanyaan besar: apakah seorang penulis harus fokus menikmati proses menulis sebagai ekspresi diri, atau justru lebih baik mengejar hasil dalam bentuk popularitas dan kesuksesan? Kedua pendekatan ini memiliki pendukungnya masing-masing, tetapi sejarah sastra menunjukkan bahwa perdebatan ini tidak sesederhana hitam dan putih.

Menulis sebagai Ekspresi: Ketulusan di Atas Segalanya?

Banyak penulis yang berpegang pada gagasan bahwa menulis adalah bentuk ekspresi diri yang paling murni. Mereka percaya bahwa proses kreatif itu sendiri adalah tujuan utama. Penulis seperti Franz Kafka, yang tidak pernah berniat menerbitkan banyak karyanya semasa hidup, atau Emily Dickinson, yang hanya menerbitkan sedikit puisi semasa hidupnya tetapi kemudian diakui sebagai salah satu penyair terbesar Amerika, adalah contoh bagaimana kepuasan pribadi dalam berkarya lebih penting daripada pengakuan publik.

Pendapat ini juga didukung oleh sastrawan seperti Virginia Woolf, yang berpendapat bahwa menulis adalah cara untuk memahami diri sendiri dan dunia, tanpa perlu mengejar validasi eksternal. Dalam esainya A Room of One’s Own, ia menekankan bagaimana kebebasan berekspresi jauh lebih penting bagi seorang penulis dibandingkan dengan kepentingan pasar.

Namun, pendekatan ini tidak selalu menguntungkan secara finansial atau dalam hal pengaruh sosial. Banyak penulis yang setia pada visi artistik mereka, tetapi karya mereka baru diakui setelah mereka tiada.

Mengejar Hasil: Kesuksesan sebagai Tujuan Utama?

Di sisi lain, ada penulis yang sadar bahwa menulis bukan hanya tentang ekspresi, tetapi juga tentang bagaimana karya mereka diterima oleh publik. Charles Dickens, misalnya, dikenal menulis dengan mempertimbangkan selera pasar dan sering menerbitkan novelnya dalam bentuk serial agar menarik lebih banyak pembaca. J.K. Rowling dengan Harry Potter-nya juga merupakan contoh bagaimana sebuah karya bisa menjadi fenomena global karena kemampuannya memahami keinginan pasar.

Pendekatan ini juga terlihat dalam dunia kepenulisan modern, terutama di industri buku komersial seperti romance, thriller, dan fantasy, dimana banyak penulis menyesuaikan plot dan gaya penulisan mereka dengan tren pembaca. Dalam wawancara dengan Stephen King, ia mengakui bahwa seorang penulis juga harus mempertimbangkan audiens jika ingin karyanya bertahan dan menghasilkan keuntungan.

​​Contoh Penulis Indonesia

Di Indonesia, perdebatan ini juga muncul di kalangan penulis. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, menulis sebagai bentuk perlawanan dan ekspresi perjuangan sosial. Ia tidak menulis demi popularitas, tetapi untuk menyampaikan suara yang dibungkam oleh rezim pada masanya. Dee Lestari, seorang penulis kontemporer, menunjukkan keseimbangan antara menikmati proses menulis dan memahami industri penerbitan. Novel-novelnya seperti Supernova bukan hanya eksplorasi naratif tetapi juga memiliki daya tarik komersial. Ahmad Tohari, melalui Ronggeng Dukuh Paruk, juga menikmati proses menulisnya yang penuh dengan eksplorasi budaya, tetapi tidak menutup mata terhadap pembaca yang lebih luas.

Apakah Harus Memilih Salah Satu?

Beberapa penulis berhasil menyeimbangkan kedua pendekatan ini. Harper Lee, misalnya, menulis To Kill a Mockingbird dengan ketulusan yang mendalam tetapi tetap menjadi fenomena sastra. George Orwell dalam 1984 dan Animal Farm menulis dengan pesan yang kuat, tetapi juga memahami pentingnya menjangkau audiens luas.

Di era digital, fenomena ini semakin terlihat. Penulis pada Wattpad dan Dreame, misalnya, seringkali mereka menulis demi mengejar kepopuleran, tetapi ada juga yang benar-benar menikmati proses menulisnya tanpa terlalu memikirkan hasil akhir. Dalam proses menulis, penulis-penulis ini benar-benar mendalami karakter dan cerita, tetapi tetap mempertimbangkan respons pembaca untuk menjaga daya tarik cerita.

Kesimpulan: Tergantung Pada Perspektif Pribadi

Pada akhirnya, apakah seorang penulis harus lebih menikmati proses atau mengejar hasil tergantung pada tujuan pribadi mereka. Ada yang menulis untuk diri sendiri, ada yang menulis untuk pasar, dan ada yang berhasil menyeimbangkan keduanya. Yang paling penting adalah memahami alasan mengapa kita menulis, karena itulah yang akan memberi makna pada setiap kata yang kita susun.

Referensi

  1. Woolf, V. (1929). A Room of One’s Own. Hogarth Press.

  2. King, S. (2000). On Writing: A Memoir of the Craft. Scribner.

  3. Orwell, G. (1945). Animal Farm. Secker & Warburg.

  4. Dreame & Innovel Publishing Trends, 2024 Report.

  5. Wattpad Creator’s Report, 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERPEN: Gadis Porselen Dibalik Jeruji Besi

Apakah Karakter Sempurna Itu Membosankan? Ini Faktanya!

Tropes dalam Fiksi: Klise yang Membosankan atau Formula Sukses?